DECEMBER 9, 2022
Kolom

Denny JA Mengungkap Tiga Fakta Tercecer Sejarah Bangsa

image
Akmal Nasery Basral. (Entertainmentabc.com)

Puisi esai menjalani metamorfosisnya dalam 12 tahun perjalanannya hingga tahun ini.  Ada setidaknya dua perbedaan format puisi esai periode awal dan periode sekarang, sependek pengamatan saya. 

Pertama pada panjang puisi atau durasi pembacaan jika dibawakan di atas panggung. Jika puisi esai periode awal seperti  Atas Nama Cinta dibawakan para dramawan dan sastrawan Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri atau Sujiwo Tejo, maka satu karya membutuhkan waktu 30 – 40 menit pembacaan. 

Sementara, karya-karya pada Yang Tercecer ini jauh lebih singkat karena hanya membutuhkan waktu 5-10 menit pembacaan. 

“Memang niat saya untuk semakin melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat agar lebih mengakrabi puisi esai. Salah satunya melalui durasi yang diperpendek tanpa mengurangi relevansi pesan yang disampaikan,” ungkap Denny J.A. kepada saya dalam sebuah pembicaraan. 

Perbedaan kedua antara puisi esai format terdahulu dan format terkini terletak pada cara penulisan catatan kaki. 

Jika sebelumnya catatan kaki ditulis secara konvensional layaknya dalam konvensi penulisan artikel ilmiah, maka sekarang digantikan dengan gambar QR ( Quick Response) Code yang canggih.

Ini sangat memudahkan bagi pembaca yang tertarik ingin menelusuri lebih jauh referensi faktual atas puisi esai yang tersaji. Misalkan pada puisi esai “Lima Puluh Tahun Kututup Rahasia Itu Rapat-Rapat” yang menggambarkan penderitaan Sonya sebagai jugun ianfu, sebelum dinikahi seorang tentara Inggris usai Perang Dunia II.

Jika QR Code yang disertakan  pada akhir puisi esai ini digunakan pembaca, maka akan muncul tautan sumber berita obituari pada harian The Washington Post berjudul “ Jan Ruff O-Herne, Seeker Dignity for Fellow ‘Comfort Women’ of World War II, Dies at 96” (27 Agustus 2019). 

‘ Comfort women’ (wanita penghibur) adalah padanan dalam Bahasa Inggris untuk Bahasa Jepang jugun ianfu.

Jan Ruff (terlahir dengan nama Jeanne Alida O’Herne), lahir 18 Januari 1923, dari sebuah keluarga Belanda penganut Katolik yang taat di Bandung. Hidupnya bahagia dan bercita-cita menjadi biarawati, sampai masuknya Jepang ke Indonesia dan para gadis dibariskan para serdadu. 

Halaman:
1
2
3
4
5

Berita Terkait