Denny JA Lesehan Menonton Kabaret Transpuan di Yogyakarta
- Penulis : Mila Karmila
- Minggu, 08 September 2024 09:04 WIB

-000-
Menonton kabaret, baik di Yogyakarta maupun di Thailand, membuat saya menyadari bahwa bagi para transpuan, kabaret bukan hanya sekadar bisnis pertunjukan. Kabaret menjadi forum pernyataan identitas.
Ini sebuah panggung di mana mereka bisa menampilkan diri yang sejati. Di atas panggung, mereka bisa melepaskan beban norma sosial yang mengungkung. Mereka justru merayakan identitas transpuan dengan penuh kebanggaan.
Baca Juga: In Memoriam: Faisal Basri dan Nyanyian Suara Kritisnya di Mata Denny JA
Setiap tarian, setiap gerakan di atas panggung itu deklarasi bahwa mereka ada, mereka diakui, dan mereka diterima oleh penonton yang mendukung.
Namun, saat saya membandingkan kedua pertunjukan tersebut, dengan kabaret asli di Eropa, ada satu elemen yang terasa absen.
Yaitu tak hadirnya satire dan kritik sosial di sela-sela lagu dan tarian. Kabaret klasik di Eropa, terutama di *Weimar Republic* pada 1920-an, tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga media untuk menyampaikan kritik sosial yang tajam. (1)
Baca Juga: Upacara Ngarot, Budaya Unik dari Desa Lelea yang hanya Diikuti Perawan dan Perjaka
Mereka menggunakan satire untuk menyapa dan mengkritik pemerintah, kebijakan politik, dan kemerosotan moral masyarakat saat itu. Namun acapkali kritik itu disampaikan secara humoris.
Sebenarnya ada peluang bagi para seniman transpuan di Yogyakarta untuk menggunakan kabaret ini sebagai alat kritik sosial yang lebih kuat. Misalnya mereka menyelipkan komentar isu lokal seperti ketidaksetaraan gender, diskriminasi, atau bahkan politik nasional.
Namun saya memahami. Satire atau kritik sosial itu mungkin sengaja dihindari agar panggung transpuan ini tak menambah kontroversi. ***
Baca Juga: Tafsir Hermeneutika Lukisan Karya Denny JA: Menyingkap Makna Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia
Jogjakarta, 8 September 2024