Tafsir Hermeneutika Lukisan Karya Denny JA: Menyingkap Makna Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia
- Penulis : Mila Karmila
- Sabtu, 07 September 2024 08:36 WIB
Oleh : Desi Ratriyanti
ENTERTAINMENTABC.COM - Lazimnya, kunjungan seorang tokoh dunia disambut beragam kalungan bunga disertai lelagu dan tari-tarian.
Tapi, tidak bagi Denny JA. Ia justru memilih medium lain untuk menyambut kunjungan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia. Ia menggubah lukisan melalui teknologi kecerdasan buatan.
Tidak tanggung-tanggung, 10 lukisan bertema Paus Fransiskus berhasil ia gubah. Salah satunya, ia beri judul “Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia”. Dalam lukisan tersebut, Paus dengan baju kebesaran warna putihnya tengah bersimpuh dan mencuci kaki seorang laki-laki dengan pakaian adat Melayu.
Baca Juga: 3 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Paus Fransiskus Tiba di Jakarta dan Spirit Keberagaman
Air yang digunakan untuk mencuci kaki itu mengalir jernih dari atas pegunungan yang digambarkan dengan warna kehijauan. Di samping kanan dan kirinya tampak sejumlah orang, laki-laki dan perempuan. Lukisan itu kian dramatis dengan gambaran merpati putih yang beterbangan di langit yang berwarna kekuningan.
Sebagai karya seni, lukisan Denny JA tentu mengandung makna, baik yang tereksplisitkan di permukaan, maupun yang tersembunyi di kedalaman simbol, warna, garis, dan sebagainya. Dalam konteks inilah, pembacaan atas lukisan Denny JA melalui pendekatan hermeneutik menjadi relevan untuk mengungkap makna tersembunyi di balik lukisan tersebut.
Hermeneutika secara sederhana dapat dipahami sebagai teori penafsiran. Kekhasan hermeneutika adalah model penafsirannya yang tidak harfiah dan berhenti di permukaan, melainkan berupaya menyingkap makna tersembunyi di balik sebuah teks.
Baca Juga: Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia: Pertemuan Diplomasi dan Spiritual
Menafsir Lukisan Denny JA
Merujuk pada Paul Ricoeur, yang dimaksud teks dalam diskursus hermeneutika tidak selalu berwujud tulisan. Teks yang dimaksud dalam diskursus hermeneutika mencakup juga karya seni seperti lukisan. Menurut Ricoeur, lukisan sebagai obyek penafsiran hermeneutik, tidaklah bersifat otonom.
Ia selalu bergantung pada setidaknya dua aspek atau variabel. Pertama, profil atau latar belakang pelukis atau seniman itu sendiri sebagai kreator. Jika kita merujuk pada lukisan berjudul “Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia”, tentu kita memahami biografi atau latar belakang sang penulis, yakni sosok Denny JA. Ia bisa dibilang sebagai manusia multidimensi.
Dikenal sebagai salah satu pionir lembaga survei politik di Indonesia, lalu menggebrak dunia susastra dengan puisi esai-nya, dan juga seorang pegiat isu keberagaman yang gigih memperjuangkan inklusivisme beragama. Maka, tidak mengherankan jika lukisan yang ia gubah dari teknologi kecerdasan buatan itu pun sarat akan pesan toleransi dan inklusivisme.
Penggambaran para tokoh dalam lukisan yang terdiri atas beragam suku, etnis, dan pakaian yang berbeda itu merepresentasikan pluralitas agama dan budaya di Indonesia. Tokoh-tokoh yang ada dalam lukisan itu, merupakan wujud dari apa yang disebut oleh Ricoeur sebagai kode-kode simbolik. Denny memakai idiom baju adat untuk mengkomunikasikan ihwal keragaman itu kepada khalayak penikmat lukisannya.
Kedua, selain biografi atau latar belakang pelukisnya, variabel penting lain untuk menafsir sebuah lukisan adalah konteks ruang dan waktu lukisan itu muncul.
Baca Juga: Paus Fransiskus Berkati Lukisan Karya Denny JA Tentang Dirinya Membasuh Kaki Rakyat Indonesia
Dalam konteks lukisan Denny JA, lukisan berjudul “Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia” itu memang sengaja digubah untuk menyambut kedatangan imam tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus ke Indonesia 3-6 September nanti.
Artinya, lukisan ini bukan sesuatu hal yang diakronik apalagi ahistoris, melainkan sebuah karya seni yang sinkronis dengan momen yang tengah terjadi. Lukisan “Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia” bisa dikatakan sebagai karya seni yang mengandung unsur selebrasi sekaligus refleksi.
“Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia” disebut sebagai lukisan selebrasi karena dibuat untuk menyambut momen kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Nuansa selebrasi itu kuat menyemburat melalui pemilihan warna-warna yang dominan terang namun menyejukkan, seperti warna hijau, kuning, dan putih.
Selain itu, lukisan tersebut juga kental nuansa refleksi karena menggambarkan tradisi cuci kaki Paus yang merepresentasikan kasih sayang dan pelayanan pada umat manusia. Nuansa reflektif itu juga tampak pada burung merpati putih yang menyimbolkan suasana perdamaian atau nir-konflik.
Misi Kemanusiaan dalam Kunjungan Paus Fransiskus
Arkian, lukisan “Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia” adalah sebuah ekspresi visual yang ingin mengirimkan pesan bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia membawa misi kemanusiaan.
Visualisasi sosok Paus yang tengah mencuci kaki orang Indonesia itu seolah ingin mengabarkan bahwa Paus tidak hanya milik umat Katolik, namun milik seluruh umat manusia.
Penggambaran Paus sebagai sosok universal lintas-golongan ini mengingatkan saya pada film dokumenter berjudul *Pope: The Answers* (2023).
Di dalam film dokumenter itu, Paus Fransiskus dipertemukan dengan 10 anak muda dari sejumlah negara dengan latar belakang yang berbeda. Ada yang Kristen, Muslim, agnostik, atheis, bahkan lesbian.
Anak-anak muda itu menanyakan segala hal, mulai dari apakah Paus punya telepon pintar dan media sosial, sampai sikap Paus tentang degradasi moral Gereja Katolik.
Mengejutkannya, Paus dengan seksama mendengar berbagai pandangan yang mungkin berseberangan dengan Gereja Katolik, terutama tentang agnotisisme, atheisme, pornografi, homoseksualitas, dan sebagainya.
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar kedua di dunia setelah Pakistan, adalah sebuah deklarasi bahwa prinsip kemanusiaan itu harus ditempatkan di atas identitas keagamaan. Denny JA berhasil memvisualkan pesan di balik kunjungan Paus Fransiskus itu melalui 10 lukisannya. ***
Penulis ialah S1 FISIPOL Universitas Diponegoro, Editor dan penulis lepas sekaligus pemenang Lomba Esai di Festival Toleransi, 2024