Seruan Frugal Living Mencuat, Bank Indonesia Dorong Kebijakan Penopang Daya Beli
- Penulis : Mila Karmila
- Kamis, 21 November 2024 14:00 WIB
ENTERTAINMENTABC.COM - Tren frugal living atau hidup hemat sedang ramai diperbincangkan di media sosial.
Gaya hidup ini menjadi sorotan karena banyak yang menggunakannya sebagai bentuk protes terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Di tengah berbagai kritik, gaya hidup hemat ini dianggap sebagai solusi sementara menghadapi tekanan ekonomi yang meningkat.
Baca Juga: PPN Naik 12 Persen, Netizen Gaungkan Boikot Pemerintah Lewat Frugal Living
Bank Indonesia (BI) menanggapi tren frugal living ini dengan langkah strategis.
Deputi Gubernur BI, Juda Agung, menjelaskan bahwa insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang digelontorkan BI dirancang untuk mendukung sektor-sektor yang mampu menciptakan lapangan kerja.
Ia menegaskan, langkah ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya bisa membawa dampak positif bagi kesejahteraan.
Baca Juga: Tren Istilah Gaul Gen Alpha, Wajib Tahu Biar Nggak Kudet
"Frugal living itu memang tren gaya hidup, tapi BI melalui kebijakan insentif likuiditas fokus menyasar sektor produktif yang menciptakan lapangan kerja. Dengan begitu, daya beli masyarakat ikut terangkat," ujar Juda dalam konferensi pers pada 20 November 2024.
Di media sosial, tren ini kian ramai dibahas sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Salah satu unggahan dari akun X (dulu Twitter) @uswahabibah mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam pengeluaran.
Baca Juga: Hujan Meteor Monocerotid Siap Hiasi Langit Indonesia, Jangan Sampai Kelewatan
"Boikot pemerintah lewat frugal living. Beli kebutuhan di pasar lokal, cari alternatif barang tanpa pajak, dan minimalkan konsumsi barang mewah," tulisnya.
Ada juga seruan untuk menunda pembelian barang besar seperti handphone, motor, atau mobil baru setidaknya selama setahun.
"Gunakan subsidi yang ada tanpa gengsi. Toh, itu uang kita juga," ujar akun @malesbangunaja.
Rencana kenaikan PPN menjadi 12% memang menjadi tantangan berat bagi masyarakat, terutama di tengah daya beli yang melemah.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah kelas menengah di Indonesia turun drastis dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024.
Selain itu, tingkat konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, juga mengalami kontraksi pada kuartal III-2024.
Konsumsi rumah tangga turun sebesar -0,48% dibanding kuartal sebelumnya, menandai perlambatan yang signifikan.
Sebagai respons, BI telah menyalurkan insentif likuiditas sebesar Rp259 triliun hingga akhir Oktober 2024.
Dana ini dialokasikan ke berbagai sektor strategis seperti hilirisasi mineral dan batu bara, pangan, otomotif, perdagangan, pariwisata, dan UMKM.
Dengan kebijakan ini, Bank Indonesia (BI) berharap bisa memperkuat daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih stabil.
Juda juga menegaskan bahwa sektor-sektor ini dipilih karena memiliki potensi besar untuk menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian.
Meski tren ini terus berkembang, upaya bersama antara pemerintah, BI, dan masyarakat tetap menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan ekonomi 2025.
Langkah-langkah strategis seperti kebijakan insentif dan penguatan sektor produktif diharapkan bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menjaga kesejahteraan masyarakat di tengah kondisi yang penuh tantangan.***