Kenapa Gen Z Sering Dianggap Lemah? Ini Fakta yang Harus Kamu Tahu
- Penulis : Mila Karmila
- Jumat, 29 November 2024 15:00 WIB
ENTERTAINMENTABC.COM - Gen Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kerap menjadi sorotan negatif.
Banyak yang menilai Gen Z terlalu sensitif, manja, dan bergantung pada teknologi.
Tetapi, apakah anggapan itu benar? Yuk, kita bedah alasan di balik stigma ini dan lihat perspektif yang lebih objektif tentang Gen Z.
Baca Juga: Inilah Aplikasi Paling Hits di Kalangan Gen Z, Nomor 1 Dilarang di Indonesia Kok Bisa?
1. Gen Z Lebih Peduli Kesehatan Mental
Salah satu alasan generasi ini dianggap lemah adalah perhatian mereka terhadap isu kesehatan mental.
Generasi ini tidak segan membicarakan stres, kecemasan, atau depresi yang sering dianggap tabu oleh generasi sebelumnya.
Baca Juga: Money Dysmorphia Sindrom Keuangan yang Menghantui Gen Z dan Milenial, Kamu Termasuk?
Menurut studi American Psychological Association, tingkat stres yang dirasakan generasi ini lebih tinggi dibandingkan generasi lain.
Namun, ini bukan berarti mereka tidak mampu menghadapi tekanan.
Sebaliknya, keberanian mereka untuk mengakui dan mencari bantuan adalah bentuk kekuatan baru.
Baca Juga: Heboh! Negara Tetangga RI Bakal Blokir Medsos, Meta dan TikTok Kompak Protes
Mereka percaya bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga fisik.
Mereka lebih terbuka untuk berkonsultasi dengan terapis atau mencari dukungan komunitas.
Sikap ini perlahan mengubah cara kita memandang konsep kekuatan dalam menghadapi masalah hidup.
2. Teknologi, Sahabat atau Ketergantungan?
Sebagai generasi yang tumbuh di era digital, mereka memiliki hubungan erat dengan teknologi.
Sayangnya, ini sering disalahartikan sebagai ketergantungan.
Faktanya, teknologi memberikan pmereka akses tak terbatas untuk belajar, berinovasi, dan berkreasi.
Menurut Pew Research Center, 95% generasi ini memiliki smartphone.
Mereka memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan keterampilan dan membuka peluang baru yang tidak dimiliki generasi sebelumnya.
Alih-alih dianggap terlalu bergantung, kontribusi mereka dalam transformasi digital justru menjadi pilar ekonomi modern.
3. Media Sosial, Masalah atau Kekuatan Baru?
Media sosial sering disebut sebagai akar masalah bagi mereka, mulai dari cyberbullying hingga tekanan untuk selalu tampil sempurna.
Tetapi, jangan lupa sisi positifnya.
Lewat platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, generasi ini punya ruang untuk menyuarakan pendapat, memperjuangkan isu penting, dan membangun komunitas global.
Meski ada sisi negatifnya, media sosial adalah alat yang bisa dimanfaatkan untuk hal baik jika digunakan secara bijak.
Mereka telah membuktikan hal ini dengan banyaknya gerakan sosial yang lahir dari platform digital.
4. Media dan Stigma Negatif
Sayangnya, citra mereka sering terbentuk dari pemberitaan negatif di media.
Mereka kerap dicap malas atau tidak tahan tekanan tanpa melihat konteks yang lebih luas.
Menurut Journal of Youth Studies, media lebih sering menyoroti masalah daripada pencapaian mereka.
Padahal, mereka punya banyak kontribusi positif, mulai dari teknologi hingga aktivisme.
Stigma ini hanya memperkuat kesalahpahaman antara generasi.***