DECEMBER 9, 2022
Ekonomi Bisnis

Indonesia Gabung BRICS: Langkah Strategis atau Risiko Baru?

image
Presiden Michel Temer, Vladimir Putin, Xi Jinping, Jacob Zuma, dan Narendra Modi berfoto bersama dalam KTT BRICS di Xiamen International Conference and Exhibition Center, Fujian, China (ANTARA)

ENTERTAINMENTABC.COM - Belum lama dilantik, Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri RI sudah membuat langkah besar dengan menghadiri KTT BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia.

Pada forum yang berlangsung 23-24 Oktober ini, Sugiono mewakili Presiden Prabowo Subianto dan menyatakan minat Indonesia untuk bergabung dengan aliansi ekonomi ini.

Kehadiran Sugiono dalam acara ini memperlihatkan keinginan Indonesia untuk terlibat aktif dalam percaturan global.

Baca Juga: Ridwan Kamil Tegaskan Pentingnya Imajinasi Pemimpin di Balik Rencana Disneyland di Kepulauan Seribu

Bukan hanya mempererat hubungan dengan anggota BRICS—Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—Indonesia ingin menjadi bagian dari jaringan strategis ini.

Aliansi BRICS baru saja menambah anggota pada awal 2024, yaitu UAE, Iran, Mesir, dan Ethiopia.

Bila Indonesia bergabung, maka keanggotaan BRICS menjadi 10 negara, yang bisa memperkuat posisi negara-negara berkembang di panggung internasional.

Baca Juga: Serangan Gaza Makin Panas Palestina Bongkar Bukti Israel Pakai Fosfor Putih ke ICC

Menurut Kementerian Luar Negeri, langkah Indonesia ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif.

Artinya, Indonesia ingin tetap mandiri dan tidak berpihak pada satu blok saja.

Sebagai anggota BRICS, Indonesia berencana memperkuat ketahanan pangan, energi, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia dalam lima tahun ke depan.

Baca Juga: BRICS Hadirkan Mata Uang Baru : Upaya Lawan Dominasi Dolar AS?

Namun, banyak pihak yang ragu apakah bergabung dengan BRICS adalah langkah tepat.

Di era Presiden Jokowi, Indonesia memang belum pernah secara serius mempertimbangkan keanggotaan BRICS, terutama karena beberapa alasan.

Selain potensi ketergantungan pada Tiongkok, perbedaan sistem politik, serta isu lingkungan hidup di beberapa proyek yang melibatkan Tiongkok menjadi kekhawatiran utama.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, menyebut bahwa ketergantungan Indonesia pada Tiongkok sudah cukup besar, terutama dalam sektor investasi dan perdagangan.

Selama sembilan tahun terakhir, impor dari Tiongkok melonjak hingga 112,6 persen.

Investasi Tiongkok di Indonesia juga meningkat drastis, menjadikan Indonesia penerima terbesar pinjaman Belt and Road Initiative di kawasan.

Di sisi lain, Bhima menyebut bahwa ketergantungan pada Tiongkok bisa berisiko, apalagi dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang diperkirakan akan menurun 3,4 persen dalam empat tahun ke depan.

Masalah lain seperti standar keselamatan kerja di proyek Tiongkok yang belum optimal, terutama di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), turut menjadi sorotan.

Sementara itu, peneliti dari Celios, Muhammad Zulfikar Rakhmat, menyebut bahwa bergabungnya Indonesia dalam BRICS mungkin akan mengurangi independensi Indonesia dalam berbagai isu, termasuk isu Laut Cina Selatan.

Baru-baru ini, kapal Tiongkok bahkan masuk ke wilayah Natuna Utara saat Indonesia melangsungkan acara kenegaraan, dan ini masih belum mendapat respons dari pemerintah Indonesia.

Selain itu, ketegangan antara Tiongkok dan India terkait perbatasan di kawasan Himalaya bisa memicu ketidakstabilan di dalam aliansi BRICS sendiri.

Kondisi ini dikhawatirkan bisa berdampak pada hubungan diplomatik dan ekonomi antaranggota.***

Berita Terkait