BRICS atau OECD? Pilihan Indonesia yang Bisa Ubah Masa Depan Ekonomi
- Penulis : Mila Karmila
- Selasa, 29 Oktober 2024 12:00 WIB
ENTERTAINMENTABC.COM - Wacana Indonesia untuk bergabung dengan BRICS atau OECD sudah lama beredar.
Indonesia perlu segera mengambil langkah antara BRICS atau OECD, karena berlama-lama memilih hanya memperbesar risiko kehilangan keduanya.
“Jika kita terlalu lama memilih, Indonesia bisa kehilangan kesempatan penting untuk ikut dalam diskusi kebijakan besar yang memengaruhi masa depan ekonomi dunia,” kata Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Sarmin, dalam wawancara dengan Tirto.
Baca Juga: SEVENTEEN Meledak di Billboard 200 Album Spill The Feels Masuk Top 5, Catat Rekor Baru
Menurut Wijayanto, bergabung dengan BRICS tidak berarti Indonesia harus menjaga jarak dengan Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat.
India, UEA, Brazil, dan Arab Saudi adalah contoh negara BRICS yang tetap memiliki hubungan baik dengan AS.
Di sisi lain, bergabung dengan OECD juga tak harus memutus relasi dengan BRICS, terutama Tiongkok dan Rusia.
Baca Juga: BRICS Hadirkan Mata Uang Baru : Upaya Lawan Dominasi Dolar AS?
Wijayanto menegaskan, BRICS dan OECD bukanlah aliansi yang ketat.
Setiap anggota bebas bekerja sama dengan negara lain.
Karenanya, keputusan Indonesia harus lebih pragmatis daripada politis—pilihan terbaik adalah yang paling menguntungkan bagi Indonesia.
Baca Juga: Indonesia Gabung BRICS: Langkah Strategis atau Risiko Baru?
Menurutnya, OECD cenderung mempertahankan dominasi negara-negara Barat di ekonomi global, termasuk dalam perdagangan dan moneter, yang tetap mengandalkan dolar AS sebagai mata uang cadangan utama.
Di sisi lain, BRICS berusaha menciptakan terobosan baru, termasuk rencana mengganti dolar AS sebagai mata uang utama dengan alternatif yang dipelopori Rusia dan Tiongkok.
Rusia, misalnya, semakin serius dalam isu dedolarisasi, apalagi setelah aset-asetnya di Barat dibekukan akibat konflik dengan Ukraina.
Banyak negara kini bertanya-tanya apakah situasi serupa bisa terjadi pada mereka.
Di BRICS, bahkan ada ide untuk mengembangkan sistem pembayaran lintas negara menggunakan mata uang BRICS, yang dipimpin oleh India.
Jika Indonesia bergabung dengan BRICS, Wijayanto berharap Indonesia mengambil sikap moderat, mendukung perdagangan dan sistem pembayaran yang tidak terlalu bergantung pada dolar AS.
“Meski dolar AS tetap penting, dunia butuh alternatif agar otoritas AS lebih bertanggung jawab mengelola ekonomi mereka,” jelasnya.
Bagaimana dengan OECD? Menurut Wijayanto, menjadi anggota OECD juga memiliki kelebihan, meski kental dengan nuansa status quo yang mempertahankan dominasi Barat.
OECD mengharuskan calon anggota memenuhi standar tertentu yang dianggap mencerminkan nilai-nilai Barat, membuat hubungan antaranggota terkesan lebih hierarkis.
Namun, Indonesia bisa mendapat manfaat dari pengalaman kerja sama ekonomi di tingkat internasional.
Proses bergabung dengan OECD juga menantang karena ada syarat yang cukup ketat.
Pengalaman Indonesia dengan EU-CEPA (Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif) adalah contoh nyata.
Setelah hampir 10 tahun negosiasi, kemajuan yang signifikan masih sulit dicapai, berbeda dengan negara lain seperti India, Thailand, atau Vietnam yang lebih lancar bekerja sama dengan Uni Eropa.
“Jadi, pilih BRICS atau OECD?” tanya Wijayanto. Skenario terbaik adalah jika Indonesia bergabung dengan keduanya, seperti Thailand dan Turki yang menjadi anggota OECD tetapi juga mengajukan keanggotaan BRICS.
Kedua organisasi ini tidak saling membatasi keanggotaan.
Namun, jika harus memilih, Wijayanto menyarankan agar Indonesia memilih organisasi yang lebih menghargai posisinya.
Pilihan itu bisa dilihat dari seberapa cepat Indonesia bisa memenuhi syarat tanpa persyaratan yang bertele-tele.
Jika memilih OECD, misalnya, maka Indonesia perlu jaminan bahwa perjanjian-perjanjian dagang yang tertunda akan segera dirampungkan.
“Skenario terburuk adalah kita digantung dan tidak menjadi anggota keduanya karena terlalu ragu untuk menentukan sikap. Kita sudah terlalu lama di posisi ini dan harus segera membuat keputusan,” ujar Wijayanto.
Sebagai analogi, dia menyebutkan bahwa memilih antara dua mobil dengan kualitas yang sedikit berbeda masih bisa dilakukan jika salah satu memberikan syarat pembelian yang lebih mudah.
Begitu pula Indonesia, seharusnya memilih yang paling memungkinkan untuk mencapai tujuan ekonomi dengan cepat.
Apa pun langkah yang dipilih, Wijayanto mengapresiasi kebijakan pemerintah saat ini.
Menurutnya, kebijakan ini menunjukkan keberanian dan ketegasan dalam mengangkat profil Indonesia di panggung internasional, sekaligus meningkatkan posisi tawar Indonesia di hadapan BRICS maupun OECD.***