Kenapa Tuyul dan Babi Ngepet Tidak Mencuri di Bank? Ternyata Ini Alasannya
- Penulis : Mila Karmila
- Rabu, 11 Desember 2024 08:00 WIB
ENTERTAINMENTABC.COM - Cerita soal tuyul dan babi ngepet memang sudah lama jadi bagian dari kepercayaan masyarakat Indonesia.
Sosok tuyul dan babi ngepet ini sering dikaitkan dengan cara instan untuk mendapatkan kekayaan.
Namun, pernahkah kamu bertanya, kenapa tuyul dan babi ngepet hanya mencuri uang dari rumah ke rumah, bukan dari bank atau saldo e-wallet yang nilainya jauh lebih besar?
Baca Juga: Gen Z Hati-Hati! Inilah Kesalahan Fatal yang Bisa Menguras Dompetmu di Era Digital
Dua sosok ini sering disebut sebagai “alat” seseorang untuk mengumpulkan kekayaan secara cepat.
Tugas mereka sederhana, mencuri uang dari rumah-rumah penduduk.
Menurut Budayawan Suwardi Endraswara dalam bukunya Dunia Hantu Orang Jawa (2004), narasi ini sudah hidup sejak lama dalam budaya Jawa.
Baca Juga: OJK Tingkatkan Perbankan Syariah demi Ekonomi Daerah, Ini Langkah Nyatanya
Tapi mengapa mereka tak mencuri di bank yang jelas-jelas lebih menguntungkan?
Kisah tentang dua sosok ini ternyata lahir dari fenomena sosial yang terjadi di masa lampau.
Pada era 1870, ketika ekonomi mulai diliberalisasi, kehidupan petani kecil di Jawa mengalami perubahan drastis.
Baca Juga: Money Dysmorphia Sindrom Keuangan yang Menghantui Gen Z dan Milenial, Kamu Termasuk?
Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), banyak petani kehilangan lahan mereka akibat pengambilalihan untuk perkebunan besar dan pabrik gula.
Di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang tiba-tiba kaya raya, yakni para pedagang pribumi dan Tionghoa.
Fenomena ini menimbulkan rasa iri di kalangan petani.
Mereka yang terbiasa melihat kekayaan sebagai hasil kerja keras merasa bingung dengan cara para pedagang ini mendapatkan kekayaan begitu cepat.
Karena itulah muncul anggapan bahwa mereka bekerja sama dengan makhluk halus seperti sosok ini.
Ong Hok Ham dalam bukunya Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong (2002) menyebut bahwa kecemburuan sosial ini membuat para pedagang sukses kehilangan status sosial.
Mereka dianggap hina karena dipercaya menggunakan cara haram untuk menjadi kaya.
Akibatnya, cerita tentang sosok ini semakin populer di masyarakat, bahkan sampai sekarang.
Antropolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1976) juga pernah meneliti fenomena tuyul.
Dia menemukan bahwa ada orang-orang yang memang mengklaim memeliharanya.
Biasanya, mereka melakukan perjanjian di tempat-tempat keramat.
Orang yang memeliharanya memiliki ciri khas unik, seperti:
- Mendadak kaya, tapi terkesan sederhana.
- Sering memakai pakaian bekas.
- Terlihat pelit meski punya banyak uang.
- Makan makanan sederhana seperti jagung atau singkong.
Namun, ini semua hanyalah kepercayaan yang sulit dibuktikan dengan fakta nyata.
Kenapa tuyul tidak mencuri di Bank?
Jawabannya sederhana, cerita dua sosok ini lahir dari imajinasi masyarakat yang terbatas pada konsep uang tunai.
Pada masa dulu, uang tidak disimpan di bank seperti sekarang.
Selain itu, konsep saldo digital atau e-money belum ada.
Jadi, logikanya, tuyul hanya “terprogram” untuk mencuri dari rumah ke rumah.
Kisah ini sebenarnya lebih menggambarkan kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat, bukan fakta yang benar-benar terjadi.
Meski begitu, cerita dua sosok ini tetap menjadi bagian menarik dari budaya dan tradisi Indonesia.***