Viral di Media Sosial: Mengapa Gantungan Kunci Labubu Jadi Benda Wajib Semua Orang?
- Penulis : Mila Karmila
- Selasa, 01 Oktober 2024 21:35 WIB
ENTERTAINMENTABC.COM - Kota-kota besar di Indonesia kini sedang dilanda demam gantungan kunci berbentuk boneka monster lucu, dikenal sebagai Labubu.
Benda ini tiba-tiba jadi tren setelah salah satu anggota grup K-pop, Lisa dari Blackpink, memposting Labubu di media sosial.
Dalam sekejap, banyak orang rela antre berjam-jam, mulai dari subuh hingga malam, demi mendapatkan gantungan kunci Labubu dengan harga ratusan ribu hingga belasan juta rupiah.
Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun ikut meramaikan fenomena ini.
Memiliki lebih dari satu gantungan kunci dianggap sebagai simbol status sosial.
Banyak dari mereka mengunggah video ke TikTok dan Instagram, mendapatkan ratusan ribu view sebagai bukti eksistensi di dunia maya.
Baca Juga: Mengapa Begadang Merugikan? Efek Kesehatan Fisik dan Mental dari Kurang Tidur di Kalangan Remaja
Namun, tidak semua dampak dari demam ini positif.
Banyak orang tua mengeluh, karena anak-anak mereka merasa tertekan untuk memiliki Labubu agar tidak dianggap ketinggalan zaman oleh teman-teman sekolah.
Ini menciptakan kesenjangan sosial di antara siswa, bahkan ada yang merasa malu untuk pergi ke sekolah tanpa gantungan tersebut.
Baca Juga: Manfaat Rendaman Timun bagi Kesehatan, Salah Satunya Dapat Menurunkan Berat Badan
Di sisi lain, bagi orang dewasa, memiliki Labubu lebih kepada pamer dan aktualisasi diri.
Mereka ingin diakui dalam pergaulan dan menjadi viral di media sosial.
Fenomena ini menarik perhatian Ketua Umum Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Indonesia, Fajar Eri Dianto, yang menyebutnya sebagai efek dari "fear of missing out" (FOMO).
Baca Juga: Infused Water : Minuman Segar Baik Untuk Kesehatan, Simak Penjelasannya!
FOMO, atau ketakutan ketinggalan, membuat orang merasa harus terlibat dalam setiap tren agar tidak kehilangan kesempatan sosial.
Dampak negatif dari FOMO ini adalah dorongan untuk mengikuti tren yang tidak selalu menjadi prioritas, bahkan bisa membuat seseorang terjebak dalam gaya hidup hedonis.
Kesehatan Mental dan Media Sosial
Di era digital ini, pemanfaatan teknologi yang berlebihan dapat berujung pada masalah kesehatan mental. Media sosial sering kali menjadi sumber stres, khususnya di kalangan remaja.
Informasi yang terus-menerus datang dan tuntutan untuk terhubung dapat menyebabkan tekanan mental yang signifikan.
Psikolog klinis, Kasandra Putranto, menegaskan pentingnya menjaga kesehatan mental. Ia mengatakan, "No health without mental health," yang menunjukkan bahwa kesehatan mental merupakan bagian integral dari kesehatan secara keseluruhan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menekankan pentingnya mempromosikan dan menjaga kesehatan mental, mengingat dampaknya terhadap individu dan komunitas.
Cara Sehat Menggunakan Media Sosial
Menghadapi tantangan ini, perusahaan keamanan siber seperti Kaspersky memberikan kiat untuk membangun hubungan lebih sehat dengan ruang digital.
Salah satu cara adalah dengan mengatur privasi akun media sosial untuk melindungi informasi pribadi dan menjaga keamanan digital.
Membatasi koneksi hanya kepada orang-orang yang dikenal dapat mengurangi risiko interaksi yang tidak diinginkan.
Dengan bijak menerima permintaan pertemanan, pengguna bisa menciptakan pengalaman online yang lebih positif.
Selain itu, melaporkan aktivitas mencurigakan di media sosial juga penting untuk menjaga lingkungan daring yang aman.
Dengan cara ini, pengguna tidak hanya melindungi diri sendiri tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
"Media sosial bisa jadi alat yang bermanfaat atau merugikan. Mengedepankan unggahan positif dan membangun hubungan yang sehat dengan ruang digital adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental kita," kata Anna Larkina dari Kaspersky.
Dengan demikian, meski demam Labubu menarik perhatian banyak orang, penting bagi kita untuk tetap bijak dan tidak terjebak dalam budaya konsumtif yang bisa merusak kesehatan mental.***