Gus Miftah Diusir dari Grup WhatsApp Gus? Ini Cerita Lengkapnya
- Penulis : Mila Karmila
- Sabtu, 14 Desember 2024 13:00 WIB
ENTERTAINMENTABC.COM - Kenapa Gus Miftah Dikeluarkan dari Grup WhatsApp?
Gus Miftah, pendakwah ternama, pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan saat dirinya dikeluarkan dari grup WhatsApp yang berisi para "Gus".
Kisah ini Gus Miftah ungkapkan dalam sebuah pengajian yang disampaikan di hadapan ribuan jemaah.
Baca Juga: Kontroversi Video Gus Miftah, Apakah Clara Shinta Jadi Penyebab Penjual Es Viral?
Kejadian ini pun kembali menjadi perhatian publik karena menyentuh isu sensitif tentang gelar keagamaan dan hierarki sosial.
Ia menceritakan bahwa peristiwa ini terjadi sekitar tahun 2011-2012, ketika ia baru mendirikan Pesantren Ora Aji di Yogyakarta.
Saat itu, banyak orang yang meremehkannya karena ia tidak berasal dari keluarga kiai.
Baca Juga: Gus Miftah Mundur, Ustaz Adi Hidayat Tegaskan Tak Gantikan Posisi Utusan Khusus Presiden
Dalam pengakuannya, ia mengingat jelas bagaimana orang-orang mempertanyakan dirinya.
"Miftah itu siapa? Kok berani-beraninya bikin pondok pesantren," ujarnya mengenang komentar sinis yang ia terima.
Ia sempat diundang masuk ke sebuah grup WhatsApp yang berisi anak-anak kiai, biasa disebut dengan istilah "Gus".
Baca Juga: Viral Gus Miftah Kembalikan Honor Rp75 Juta: Kyai Harus Dihargai Lebih dari Penyanyi Dangdut
Namun, tak lama setelah itu, ia dikeluarkan dari grup tersebut.
"Saya diundang masuk grup WhatsApp para Gus, tapi kemudian saya dikeluarkan. Katanya saya nggak pantas bergabung," ungkapnya.
Alasan utamanya?
Menurutnya, banyak yang merasa ia tidak layak disebut "Gus" karena orang tuanya bukan kiai.
Gelar "Gus" memang umumnya diberikan kepada anak-anak kiai atau pemilik pesantren.
Merasa diperlakukan tidak adil, ia tidak tinggal diam.
Ia memberikan teguran keras kepada para anak kiai yang terlalu membanggakan status orang tua mereka.
"Generasi yang paling buruk adalah mereka yang hanya bangga pada nama besar orang tuanya, sementara dirinya sendiri tidak punya prestasi apa-apa," tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa gelar "Gus" seharusnya menjadi motivasi, bukan sekadar kebanggaan.
"Kamu itu harusnya malu. Yang hebat itu bapakmu, bukan kamu!" katanya dengan nada penuh emosi.
Kisah ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat tentang pentingnya toleransi dan inklusi.
Gelar atau status sosial seharusnya tidak menjadi penghalang untuk menghormati seseorang, terutama mereka yang berjuang membangun sesuatu dari nol.
Ia membuktikan bahwa dedikasi dan kerja keras lebih berarti daripada sekadar gelar atau garis keturunan.
Dengan cerita ini, sekali lagi ia mengingatkan bahwa dalam kehidupan, yang paling penting bukanlah dari mana kita berasal, tetapi bagaimana kita memberikan manfaat bagi orang lain.***