Catatan Denny JA: Agama Leluhur yang Tersingkir di Negerinya Sendiri
- Penulis : Mila Karmila
- Selasa, 14 Januari 2025 09:18 WIB

-000-
Renungan Voltaire ini yang saya ingat ketika membaca 15 puisi esai Ahmad Gaus dalam kumpulan “Mereka Yang Tersingkir di Negerinya Sendiri.”
Ahmad Gaus hidup sekitar 300 tahun setelah era Voltaire. Kini sudah tumbuh kultur Hak Asasi Manusia. Perbedaan agama di dunia modern dihadapi secara rileks saja.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Memperkuat Isu Lingkungan Hidup Melalui Agama Leluhur
Tapi di berbagai belahan dunia, jejak diskriminasi itu masih terasa. Memang di era ini, diskriminasi agama tak lagi dengan cara pembunuhan atau pembakaran individu secara hidup-hidup.
Tetapi aroma diskriminasi terhadap agama itu tetap hadir walau dalam bentuknya yang lebih halus.
Kumpulan 15 puisi esai Ahmad Gaus ini mungkin yang pertama di dunia, yang mengolah hasil riset diskriminasi atas agama leluhur di Indonesia, dan diekspresikan dalam satu buku khusus puisi.
Baca Juga: Deretan Artis Indonesia yang Tinggal di Los Angeles Saat Kebakaran Hebat, Begini Kondisi Mereka
Puisi esai berjudul “Pelangi di Mata Irena” karya Ahmad Gaus mengisahkan pengalaman Irena, seorang anggota suku Nuaulu di Pulau Seram.
Ia terpaksa mencantumkan agama lain di KTP-nya demi melanjutkan pendidikan. Puisi ini menyoroti diskriminasi yang dialami oleh penganut kepercayaan leluhur yang tidak diakui secara resmi.
“Kami, ujarnya, meyakini Tuhan Yang Maha Esa
Pencipta alam semesta
Tapi orang-orang di luar sana bilang, kami sesat.
Baca Juga: Rumah Rp 146 Miliar Ini Selamat dari Kebakaran Hebat di Los Angeles, Rahasianya Bikin Melongo
Pemerintah menganggap kami tidak beragama.
Naurus disatukan ke agama Hindu
Padahal kami berbeda dengan Hindu.