
Tjokro bercerita soal
petani, buruh, kaum terpelajar,
suara-suara yang ia satukan dalam tekad.
“Coba dengar, Syarif,”
ujar Tjokro,
dinding rumah tua kita masih menyimpan gema suara petani:
“Sawah kami,
dulu bukan hijau,
tapi ladang duka,
air mata bersemi.
Panen hanyut,
bukan ke lumbung,
tapi ke pundi penjajah.
Lalu datanglah ia, Tjokroaminoto,
bukan nama, tapi bara yang menyala.”
Ucapannya bukan pelajaran,
tapi obor di kegelapan jiwa.”
-000-
HOS Tjokroaminoto kini menua,
tubuh renta, jiwa masih menyala.
“Dulu, ia nyalakan bara yang menyatukan.
Kini murid-muridnya bertikai di jalan berbeda.
Ia tak lagi mercusuar bagi arah mereka.”
Syarif juga ingat.
Di ruang ini, Tjokro menjadi cahaya,
bagi Bung Karno muda,
bagi Muso yang bergejolak,
dan bagi Kartosuwiryo,
yang teguh dalam Islam.