![image](https://img.entertainmentabc.com/2025/01/22/20250122101718WhatsApp_Image_2025-01-22_at_09_30_19_0b914b30.jpg)
Mereka, pemuda dari aneka ide,
berkumpul dalam naungan sang Guru.
Tjokro tahu,
nyala tak bisa dipaksa dalam genggaman,
sungai tak bisa dipaksa satu muara.
Murid-muridnya tumbuh membawa obor sendiri,
berpencar, mengukir jalan berbeda.
Di usia senja, Tjokro tersisih dalam sunyi,
melihat Sarekat Islam yang ia bangun,
retak dari dalam.
Cermin pecah berkeping-keping.
Angin kehilangan arah,
organisasi ini dulu satu, kini terpecah.
Ia juga melihat para muridnya,
bukan saja berbeda,
tapi berseberangan.
Bung Karno, nasionalis.
Muso, komunis.
Kartosuwiryo, negara Islam.
Di keheningan, ia menerima kenyataan,
peran Guru Bangsa hanya menyalakan api,
bukan menjaga awan dalam satu jalan.
Karena angin tak bisa dipaksa satu arah.
Burung terbang bebas di angkasa,
bebas membuat sarangnya sendiri.
Ia, Tjokroaminoto, kadang ragu dengan perannya.
“Apakah aku gagal, Syarif?”
tanya Tjokro.
Ia merasa menjadi debu
terbang di pusaran angin perpecahan.